KKPNews, Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) berkomitmen untuk terus mendorong riset demi peningkatan kapasitas dan muatan lokal. Hal ini disampaikan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BRSDM KP, Rifky Effendi Hardijanto.
“Kita prihatin bahwa banyak peralatan-peralatan, kebutuhan-kebutuhan kelautan perikanan itu yang harus kita impor. Ini yang harus dirubah cara pikirnya. Jangan dengan mudah saja memberi barang impor. Kita mendorong supaya pemenuhan kebutuhan itu juga dipenuhi oleh industri-indistri lokal,” ungkap Rifky di Jakarta, Senin (27/2).
Rifky berpendapat, kebanyakan barang yang diimpor sebenarnya bisa dihasilkan oleh industri kecil karena bukanlah peralatan yang rumit. Kuncinya bergantung pada bagaimana kajian, riset, dan uji coba dilakukan, agar menghasilkan konsep yang mudah diimplementasikan.
“Di Indonesia ini, pabrik jaring ada berapa? Kenapa kok jaring tidak (diproduksi) dari dalam negeri? Sampai kail (hook) kita juga impor. Padahal seharusnya dipenuhi dari dalam negeri. Permesinan, spare part juga begitu. Kemudian di budidaya, kincir air kita impor dari negara lain. Buat apa? Wong kita bikin sendiri bisa kok,” terang Rifky.
Rifky mencontohkan uji coba produk kincir air dalam negeri di Politeknik Sodarjo. Menurutnya, secara bentuk, memang tak sebagus barang impor, tetapi fungsinya berjalan dengan baik bahkan terbukti lebih hemat energi.
Menurutnya, memasok kebutuhan dengan impor memang lebih mudah karena tinggal meminta dari negara yang memproduksi. Namun, jika Indonesia bisa melakukan kajian dan riset yang efektif sehingga bisa memproduksi peralatan kelautan dan perikanan sendiri, Indonesia bisa menghemat anggaran. Selain itu, Indonesia juga dapat ikut dalam kompetisi di pasar dunia melalui karya anak negeri.
“Impor itu mengeluarkan devisa lagi. Benefit-nya jadi milik negara lain. Seharusnya kita yang menikmati benefit-nya. Secara fundamental Indonesia ini demand-nya tinggi, 250 juta orang, hampir 10 juta pelaku di sektor kelautan dan perikanan. Belum kalau kita perluas ke sektor pariwisata kelautan. Jadi harus sebanyak-banyaknya sumber daya di dalam negeri ini kita manfaatkan, sehingga nilai tambahnya nanti ada di dalam negeri bukan di luar negeri,” paparnya.
Tak hanya peralatan, Rifky juga menyoroti pengadaan pakan. Menurutnya, Indonesia harus mengurangi pakan impor, baik itu pakan jadi maupun bahan baku pembuatan pakan berupa tepung ikan, kedelai, jagung, dan sebagainya.
Rifky menyoroti budidaya lele. Menurutnya, tingkat keuntungan usaha lele sangat bergantung kepada pakan. Ia berpendapat, jika pakan untuk lele terus diimpor, peternak lele tidak lagi independen dalam menentukan profitability level atau level keuntungan. Jika produksi pakan bisa dilakukan dalam negeri dan harga pakan turun Rp1.000 saja, keuntungan yang didapat peternak lele akan melonjak drastis.
“Nah bagaimana mau menurunkan harga pakan kalau kita harus impor? Impor itu kan nanti tergantung pada yang jual harganya. Kedua, dia akan tergantung pada nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Jika nilai rupiah merosot, sementara lele itu dijualnya dalam rupiah, peternak bisa terancam rugi. Pun sama kalau kita beli peralatan dari luar negeri, beli pompa, beli mesin, beli jaring. Bahkan sampai styrofoam pun kita masih impor. Ini harus dirubah. Tujuannya jelas bahwa bagaimana kita memberikan keuntungan ekonomi dari rantai bisnis itu sebesar-besarnya untuk rakyat Indonesia,” tandasnya.
Penulis: Ade Fitria Nola || Editor Diding Sutardi