Menyelamatkan Ikan Belida, Bahan Baku Pempek yang Kian Langka

954
Ikan belida, ikan endemik Sumsel yang merupakan baha baku pempek

PALEMBANG – Berburu ikan belida kini menjadi hal yang susah bagi Armo. Pria paruh baya asal Patra Tani, Muara Enim, Sumatera Selatan ini mengisahkan, dulu sangat mudah bagi warga bantaran Sungai Musi untuk mencari ikan endemik Sumsel ini. Saking ikoniknya, tak jauh dari Jembatan Ampera, terdapat sebuah patung ikan belida berukuran raksasa.

Armo menduga, penangkapan ikan secara masif (overfishing) serta penangkapan dengan setrum atau potasium menjadi biang sulitnya mendapatkan ikan belida. “Susah sekarang dapatnya,” kata Armo, Senin (16/12).

Kesulitan serupa dirasakan Yanti. Sebagai pelaku usaha pengolah ikan dengan produk pempek Palembang, dia menyebut pempek ikan belida memiliki citarasa yang luar biasa. Namun, karena ikan tersebut sudah menjadi barang langka, Yanti mengganti bahan baku dengan ikan gabus untuk memproduksi pempek.

“Ya susahnya minta ampun buat cari, hampir tidak ada ikan belida,” terang Yanti.

Jeritan warga pesisir Sungai Musi dirasakan betul oleh Arif Wibowo. Sosok yang kini menjabat sebagai Kepala Balai Riset Perikanan dan Perairan Umum Palembang ini mengaku tertantang untuk menyelamatkan ikan belida dan ikan-ikan endemik lain yang tersisa. Bertugas di bumi wong kito galo sejak diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS), 2003 silam, membuatnya mengenal betul tipe lahan dan perairan di Sumatera Selatan.

“Saya bertugas di Palembang sejak saya diangkat jadi PNS,” kata Arif.

Menurutnya, sebagai PNS sekaligus peneliti ia harus mampu mengaplikasikan ilmunya agar masyarakat betul-betul merasakan manfaat. Arif pun selalu teringat wejangan Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM), Prof Sjarief Widjaja yang menyebut penliti harus dekat dengan masyarakat dan mampu mengatasi permasalahan di tengah warga melalui inovasi dan risetnya.

“Karena disitulah esensi sebenarnya dari sebuah pengabdian terhadap negara,” sambungnya.

Sadar di Sumsel banyak lahan rawa banjiran serta lahan gambut yang seringkali dianggap lahan tak produktif, membuat Arif semakin tertantang untuk mengubah stigma tersebut. Dia pun mengembangkan special area for conservation and fish refugia dan mencoba menerapkannnya di lahan seluas 50 hektare milik BRSDM. Rasa penasarannya semakin membuncah setelah dia berhasil saat uji coba di lahan seluas 5 hektare.

Melalui konsep yang dia beri nama SPEECTRA tersebut, Arif membuat lubang-lubang terintegerasi dengan anak sungai Musi sebagai tempat ikan-ikan  endemik berlindung dan bertahan hidup. Dibuat di lahan rawa bajiran, pola ini juga sekaligus bisa menjadi parit untuk mencegah meluasnya kebakaran lahan di saat musim kemarau.

“Dengan SPEECTRA, kita bisa mendapat beberapa manfaat sekaligus, seperti konservasi sekaligus mencegah kebakaran lahan,” terangnya.

Karenanya, Arif memastikan konsepnya tersebut bisa juga diterapkan di lahan gambut. Terlebih saat ini, terdapat 6,5 juta hektare lahan gambut rusak yang tersebar di seluruh Indonesia. Dia berharap, masyarakat yang tinggal di lahan gambut bisa mendapatkan nilai tambah dari lingkungan sekitarnya.

“Bayangkan kalau di lahan gambut kita buat seperti ini (SPEECTRA), ini juga bisa jadi sumber protein (ikan) bagi masyarakat sekitar,” terangnya.

Kerja keras Arif pun mendapat apresiasi dari Kepala BRSDM, Sjarief Widjaja. Bahkan dia menilai SPEECTRA sebagai inovasi yang bisa menjadi inspirasi bagi peneliti dan PNS di lingkup BRSDM.

“Terlepas masuk 10 besar PNS inspiratif atau tidak, bagi kami Pak Arief bisa menjadi inspirasi bagi yang lain. Karena kata kunci dari sebuah penelitian ialah

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
  • Senang (66.7%)
  • Terinspirasi (33.3%)
  • Terhibur (0.0%)
  • Tidak Peduli (0.0%)
  • Terganggu (0.0%)
  • Takut (0.0%)
  • Marah (0.0%)
  • Sedih (0.0%)

Comments

comments