
[JAKARTA] Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membantah tugas dan kewenangan yang dimiliki Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal tumpang tindih dengan instansi yang lain.
“Tidak benar bila satgas tumpang tindih,” kata Menteri Susi dalam konferensi pers di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Senin (2/11).
Menurut Susi, hal itu merupakan pendapat yang tidak didasarkan pada pemahaman tentang UU No. 32/2014 tentang Kelautan dan UU Perikanan.
Dia mengemukakan, Pasal 62 UU Kelauan mengatur bahwa Badan Keamanan Laut mempunyai tugas melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan yurisdiksi Indonesia.
“Bakamla tugas dan fungsinya adalah keamanan di perairan Indonesia secara umum. Sedagnkan Satgas berdasarkan Perpres No. 115/2015 yang sifatnya adhoc ini, mempunyai tugas dan fungsi yang lebih khusus,” katanya.
Ia memaparkan, tugas dan fungsi yang lebih khusus itu adalah mengembangkan dan melaksanakn operasi penegakan hukum dalam upaya pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan personil dan peralatan operasi yang dimiliki penegak hukum perikanan.
Dengan demikian, ujarnya, sangat jelas tidak ada karena Bakama merupakan komponen penting dalam satgas.
Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) yang menyatakan Perpres Nomor 115/2015 menimbulkan masalah tumpang tindih kewenangan antarlembaga.
“Kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagaimana diatur dalam Perpres Satgas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal menabrak dan tumpang-tindih dengan kebijakan yang telah ada sebelumnya,” kata Sekjen Kiara Abdul Halim di Jakarta, Senin (26/10).
Menurut Abdul Halim, bila yang didorong adalah efektivitas dan efisiensi penegakan hukum di laut, maka semestinya yang dilakukan adalah harmonisasi kebijakan terlebih dahulu.
Pusat Data dan Informasi Kiara mencatat sedikitnya ada empat kebijakan yang ditabrak oleh Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2015 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal.
Dia memaparkan empat kebijakan yang ditabrak yakni Perpres Nomor 63 Tahun 2015 tentang Kementerian Kelautan dan Perikanan, UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, UU No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, dan Perpres Nomor 178 Tahun 2015 tentang Badan Kemanan Laut.
“Jika tidak ada koreksi dari Presiden Jokowi, tumpang-tindih kebijakan di bidang penegakan hukum di laut akan berdampak kepada tiga hal, yakni pertama tabrakan kepentingan intra maupun ekstra institusi penegak hukum di laut dikarenakan tafsir atas kebijakan yang berbeda,” katanya.
Selain itu, ujar dia, dua hal lainnya adalah terbuangnya anggaran secara percuma dikarenakan satu bidang kerja dilakukan oleh banyak lembaga negara, serta masyarakat nelayan akan menjadi korban bertumpuknya kebijakan dan implementasi yang tidak berpihak di lapangan. [Ant/L-8]