KKPNews, Bogor – Kawasan perairan Indonesian Sea Large Marine Ecosystem (ISLME) yang dihuni oleh lebih dari 185 juta orang memiliki kekayaan mega diversity yang terbilang tidak ada pembandingnya di dunia. Namun kini terancam oleh kegiatan penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan dan dampak perubahan iklim.
Perubahan iklim membuat suhu perairan naik sehingga berdampak pada kualitas ekosistem. Sementara aksi penangkapan ikan berlebih (overfishing) ditandai dengan status “merah” atau over-exploited beberapa spesies tangkapan di wilayah ISLME seperti rajungan, kepiting, lobster, dan udang terus terjadi.
Berangkat dari hal tersebut, Pemerintah Indonesia dan Timor Leste dengan dukungan Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Global Environment Fund (GEF) bekerja sama untuk menangani isu-isu tersebut dalam proyek “Enabling Transboundary Cooperation for Sustainable Management of the Indonesian Seas”. Rabu (14/8), kedua pemerintah menyepakati strategi komunikasi untuk mengampanyekan isu-isu dan aktivitas di dalam proyek ISLME yang dilakukan di Indonesia dan Timor Leste.
“Nilai strategis lain dari kawasan ISLME adalah adanya inisiatif manajemen regional, yaitu Coral Triangle Initiative (CTI) dan Indian Ocean Tuna Commission (IOTC). Oleh karena itu, keberhasilan pengelolaan di kawasan ini tidak hanya akan menjadi cerminan dari keberhasilan pengelolaan ekosistem laut Indonesia, tetapi juga kawasan dan juga cerminan pengelolaan ekosistem laut di dunia,” kata Direktur Jenderal Perikanan Tangkap M. Zulficar Mochtar dalam sambutannya saat membuka pada kegiatan ISLME Regional Communication Workshop di Bogor, Jawa Barat.
Proyek ini memperat kerja sama regional dan dukungan pada manajemen berkelanjutan yang efektif untuk kawasan ISLME, peningkatan pengetahuan dan kapasitas tentang cara mengelola ekosistem secara bijak dan ramah lingkungan, serta meningkatkan pengelolaan sumber daya perikanan dan ketahanan pangan dengan mengarusutamakan gender.
“Menjadi penting untuk berbagi informasi dan menangani isu perbatasan dan isu lainnya yang berhubungan dengan ekosistem di wilayah ISLME. Proyek ISLME telah membantu Timor-Leste untuk stock assessment sebagai sebuah bentuk kolaborasi,” ungkap Direktur Jenderal untuk Perikanan dari Kementerian Pertanian dan Perikanan Timor-Leste Acacio Guterres yang hadir bersama Direktur Jenderal untuk Lingkungan Joao Carlos.
Di saat yang sama, FAO Representative, Ageng Herianto menyampaikan hal-hal terkait pengarusutamaan gender dalam proyek ini. “Keterlibatan kelompok perempuan diprioritaskan di bidang-bidang utama dengan implikasi gender yang kuat seperti mata pencaharian alternatif, perdagangan lokal, dan kegiatan pasca panen terutama yang terkait dengan rantai pasokan dan proyek inisiatif rintisan,” tuturnya.
ISLME merupakan salah satu dari 66 Large Marine Ecosystem (LME) di dunia dan berada di Nomor 38 dengan 98% kawasan berada dalam wilayah perairan Indonesia, dan 2% merupakan teritori Timor-Leste. Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) yang masuk dalam ISLME yaitu WPP 712, 713, 714, dan 572. Sedangkan di Timor-Leste, Atapupu menjadi titik cross border yang berbatasan dengan Batugade di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Proyek ISLME menargetkan capaian akhir berupa Transboundary Diagnostic Analysis (TDA) dan Strategic Action Programme (SAP) sebagai arahan mekanisme keterlibatan dan koordinasi antara kedua negara dalam menjaga kelestarian ISLME.
Sementara itu, salah satu wilayah pilot project ISLME adalah di Demak, Jawa Tengah, yang masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI 712) meliputi 46,6% perairan Laut Jawa dan dikenal sebagai penghasil rajungan terbesar di Indonesia. Aktivitas proyek FAO yang sedang berjalan di WPP 712 adalah pendataan dengan menggunakan vessel tracking system dan pengelolaan rajungan yang terintegrasi. (Humas DJPT)