KKPNews, Jakarta – Dalam rangka akselerasi pengembangan industri perikanan tangkap Indonesia, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo melakukan silaturahmi dengan lebih dari 400 pelaku usaha perikanan tangkap Indonesia. Dalam kegiatan yang digelar di Ballroom Gedung Mina Bahari III, Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tersebut juga dilakukan penyerahan 407 Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) secara simbolik.
“Kami mau, penyerahan izin ini menjadi simbol bahwa kami akan memberikan pelayanan seutuhnya,” tutur Menteri Edhy dalam silaturahmi didampingi Direktur Jenderal (Dirjen) Perikanan Tangkap M. Zulficar Mochtar dan Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Agus Suherman, Selasa (19/11).
Menteri Edhy menyebut, tak hanya untuk penyerahan SIUP dan SIPI, silaturahmi ini juga dilakukan untuk memperkuat komunikasi antara pelaku usaha dengan pemerintah guna menemukan solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi. Pasalnya, pemerintah melalui koordinasi KKP, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Ketenagakerjaan sudah sepakat untuk saling sinergi dan mempercepat segala proses perizinan.
Sebagai bentuk dukungan terhadap komitmen pemerintah ini, Menteri Edhy meminta pelaku usaha perikanan tangkap untuk melaporkan hasil tangkapan secara benar dan membayar pajak secara tertib. Ia juga meminta pelaku usaha untuk mengusung konsep sustainability (keberlanjutan) dalam menjalankan usaha.
“Kadang-kadang karena sudah merasa untung 10, maunya untung 100. Untung 100, maunya 1.000. Kita harus bikin komitmen dan kesepakatan kalau kita semua akan menjaga keberlanjutan dan kelangsungan bisnis kita di industri kelautan ini,” paparnya.
Untuk menjaga agar usaha penangkapan ikan ini terus memberikan profit dan mampu menopang kehidupan para pelaku usaha dan para pekerjanya, Menteri Edhy mengimbau pelaku usaha tidak melakukan penangkapan ikan secara berlebihan.
Pelaku usaha juga dinilai memegang peranan penting bagi perekonomian negara melalui penerimaan pajak dari sektor perikanan. Kebijakan pemerintah melarang transshipment atau bongkar muat di tengah laut juga dilakukan atas dasar pertimbangan tersebut. Menteri Edhy berpendapat, bongkar muat di tengah laut membuka peluang bagi para pelaku usaha untuk mentransfer hasil tangkapannya ke kapal angkut yang sudah menunggu di laut lepas untuk kemudian dikirim ke luar negeri dengan harga yang lebih tinggi. Praktik ini berpotensi mengurangi pendapatan pajak negara.
“Pajak jangan lupa dibayar, karyawan yang kerja sama bapak-bapak ibu-ibu jangan juga dilupakan kesejahteraannya,” pesannya.
Menteri Edhy menjelaskan, KKP berkomitmen untuk menyelaraskan kepentingan pelaku usaha penangkapan ikan dan nelayan kecil di pesisir. Ia meminta agar pelaku usaha menjalankan usaha dengan bijak, tidak menabrak kepentingan nelayan kecil.
“Saya minta kapal bapak ibu tidak lagi bertabrakan dengan nelayan kecil yang pasang bubu di pesisir. Tidak ada lagi nanti nelayan kecil konflik dengan pelaku usaha dengan kapal besar. Besar dan kecil harus hidup dalam keharmonisan dan keindahan. Kalau yang besar saja yang berkuasa, percayalah tidak ada keindahan dan kenikmatan. Akan ada beban moral yang setiap hari merongrong hidup bapak ibu,” Menteri Edhy mengingatkan.
Ia menjelaskan, hal ini harus dipahami bersama karena di samping mendorong tumbuhnya pengusaha-pengusaha perikanan besar, adanya nelayan kecil yang juga harus dibela dan dijaga negara.
“Negara manapun tidak akan ada kekuatannya tanpa melibatkan rakyat (nelayan). Negara manapun ekonominya tidak akan kuat kalau pelaku usahanya tidak diberi tempat seluas-luasnya untuk berusaha,” ucapnya.
Menteri Edhy juga mengingatkan agar pelaku usaha perikanan tangkap tidak terlibat dalam berbagai tindak kriminal seperti penyelundupan obat-obatan, satwa yang dilindungi, perbudakan, maupun perdagangan orang.
“Begitu ada kapal asing yang masuk dan aktivitas yang mencurigakan di tengah laut, bapak dan ibu segera hubungi kami. Bapak dan ibu jadi mata dan telinga kami di tengah laut. Kita kerja sama menghentikan pencuri ikan karena pencuri ikan bukan musuhnya negara saja, tapi juga musuhnya pelaku usaha Indonesia.”
Tak melulu urusan penangkapan ikan, Menteri Edhy berharap, para pelaku usaha perikanan tangkap yang memiliki modal yang cukup dapat turut berkontribusi dalam mengembangkan usaha budidaya perikanan, baik ikan maupun rumput laut.
Sementara itu, dalam silaturahmi tersebut, beberapa pelaku usaha juga menyampaikan harapan terkait pengembangan usaha mereka. Endang Ruswandi dari Himpunan Pengusaha Penangkapan Udang misalnya. Endang meminta solusi alat tangkap udang pendukung pasca dilarangnya penggunaan pukat udang. Menurutnya, setelah pukat udang dilarang, pemerintah memberikan alternatif alat tangkap trammel net, namun alat tangkap tersebut hanya dapat digunakan kapal di bawah 30 GT.
Ia mengaku, meskipun telah melibatkan nelayan-nelayan kecil, jumlah dan mutu udang yang ditangkap tidak cukup untuk memenuhi permintaan udang dari pasar luar negeri.
“Udang di pasar internasional itu sangat tinggi Pak. 1 kg itu bisa USD12 sampai 13. Potensi perikanan udang yang terbaik dari seluruh hasil perikanan lain di pasar internasional, termasuk dibandingkan tuna,” akunya.
Pelaku usaha pengolahan ikan lainnya, James Then meminta agar diberi pangkalan pendaratan ikan yang sesuai dengan domisili pabrik/perusahaan mereka untuk mengurangi ongkos yang harus dikeluarkan. Ia juga berharap agar dokumen cek fisik dapat berlaku lebih panjang. Terakhir, ia meminta pendampingan dari KKP dalam proses pengadaan kapal.
Adapun Afrizal, pelaku usaha pengalengan ikan di Bitung, Sulawesi Utara menyampaikan optimisme perkembangan investasi usaha di bidang penangkapan ikan maupun budidaya perikanan ke depannya.
Terkait berbagai masukan pelaku usaha, Menteri Edhy menyatakan akan berhati-hati dan cermat dalam menyusun regulasi agar tidak berpotensi menimbulkan polemik baru. Ada tim pengkaji yang akan merumuskan peraturan yang tepat. Namun ia berjanji, sebelum aturan dibuat atau diterapkan, dirinya akan melibatkan semua pihak yang akan terdampak peraturan tersebut.
Di bidang pengadaan kapal perikanan, Menteri Edhy berpendapat rekomendasi dari KKP mutlak diperlukan sebagai bentuk kontrol pemerintah. Begitu pula dengan dokumen cek fisik. Menurut Menteri Edhy, pengaturan cek fisik secara berkala dilakukan pemerintah bukan tanpa tujuan. Ia berpendapat, bekerja di laut memiliki risiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan di darat, sehingga keamanan fisik kapal harus dipastikan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
“Kalau minta dokumen cek fisik berlaku setahun, dua tahun, kalau perlu lima tahun, kalau bisa dilakukan akan kita berikan. Tapi kan masalah di laut dan di darat berbeda. Kalau mesin mogok di darat bisa jalan kaki, kalau mesin mati di laut, terapung-apung di tengah laut, tidak bisa melakukan apa-apa. Ini yang kita harus berpikir dengan jernih,” jelasnya.
Dalam hal membangun wilayah perikanan, Menteri Edhy menegaskan akan kembali mendorong gaung perikanan Bitung yang dianggap tidak hanya dapat menopang kehidupan nelayan Bitung, tetapi juga masyarakat di daerah lainnya. Untuk itu, persoalan perizinan kapal dan industri perikanan akan dibenahi secepat mungkin.
Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Perikanan Tangkap M. Zulficar Mochtar berharap, silaturahmi yang digelar ini mampu memperbaiki, mempercepat, dan mengoptimalkan proses-proses perizinan di lingkup KKP. Ia juga meminta kerja sama dari para pelaku usaha untuk tertib membayar pajak agar segala perizinan dapat diproses.
Zulficar menyebut, guna mengoptimalkan proses perizinan, pihaknya juga akan memanfaatkan perkembangan teknologi melalui perizinan online agar para pelaku usaha dapat mengurus perizinan dengan cepat dan dari mana saja.
“Kami masih temukan pelanggaran-pelanggaran zonasi, ada kapal-kapal yang markdown, ada juga yang LKU dan LKP-nya sangat rendah. Untuk itu kami mohon kerja samanya untuk membantu proses-proses yang ada,” pintanya. (AFN)